BAB I
PENDAHULUAN
Membincang Al-Qur’an menjadi kehangatan yang tak pernah usai. Sesuai
perjalanan zaman ada warna-warna tersendiri yang turut menghiasi kajian ini.
Ayat Al-Qur’an sangat menarik jika dikaji dari berbagai sisi. Ada ayat yang
berisi perintah maupun larangan dan ada ayat yang berisi tentang ilmu
pengetaham yang mendalam. Sehingga sampai saat ini kandungan tersebut sering
menguatkan hasil penelitian para ilmuwan di berbagai bidang, semisal Fisika,
Kimia, Biologi dan mungkin ruang lingkup lain yang belum sempat terjamah.
Membaca adalah sebuah cara untuk memperoleh kemajuan. Kunci kemajuan
peradaban bangsa terletak tentulah terleak pada hobi para penduduk
masing-masing dalam membaca dan memahami sesuatu. Allah SWT sendiri pada saat
pertama kali wahyu turun langsung memberi perintah membaca kepada Nabi Muhammad
S.A.W. Stimulasi penting inilah yang memupuk hati para kaum muslimin untuk
terus belajar seperti yang diperintahkan dalam surat Al-'alaq. Bahkan tidak
jarang gagasan orang-orang terdahulu lahir
karena keteguhan mereka saat membaca maupun memahami Al-Qur’an.
Dakwah Rasulullah S.A.W. kepada umat manusia tersusun secara rapi dan
terarah. Saat pertama kali Syari'at turun, penyebaran agama dilakukan secara
diam-diam. Setelah pengikut bertambah banyak seruan beralih dengan cara terang-terangan.
Saat pondasi menjadi kuat maka mulailah pembentukan wajah dan karakter
masyarakat madani. Terlalu banyaknya suku-suku di berbagai tempat yang telah
menjadi bagian dari kaum muslimin menjadi problematika tersendiri dalam
penyampaian Al-Qur’an. Hal ini menjadi pemicu perbedaan dalam memahami dan
membaca Al Qur’an. Untuk itu umat islam perlu mempelajari cara membaca Al
Qur’an yang benar menurut riwayat yang telah di tinggalkan Rasulullah.
Dengan mempelajari cara membaca yang benar diharapkan kita dapat
menafsirkan arti dari Al Qur’An dengan lebih tepat, sesuai dengan arti yang
seharusnya. Cara ini pun akan meminimalisir perbedaan yang mungkin terjadi saat
membaca dan mengartikan Al Qur’an. Tentunya hal tersebut akan lebih membawa
berkah karena dapat menghindari perpecahan umat.
BAB
II
PEMBAHASAN
HURUF dan QIRAAT TUJUH
A.
Pengertian Ahruf sab’ah dan Qira’at sab’ah
Al Qur’an di turunkan dalam bahasa arab yang jelas. Ini
tentulah hal yang wajar karena Al Qur’an turun di tengah-tengah masyarakat yang
berbahasa arab dengan nabi yang berbahasa arab sekalipun ini bukan brarti Islam
adalah agama bangsa arab. Al Qur’an yang berbahasa arab ini di jelaskan dalam
ayat-ayat, di antaranya:
1.
QS:
Yusuf, ayat 2:
$¯RÎ) çm»oYø9tRr& $ºRºuäöè% $wÎ/ttã öNä3¯=yè©9 cqè=É)÷ès? ÇËÈ
Artinya:
“Sesungguhnya, kami
menurunkan Al Qur’an yang berbahasa arab agar kamu memahaminya.”
2.
QS:
Al Syu’ara’, ayat195:
Ab$|¡Î=Î/ <cÎ1ttã &ûüÎ7B ÇÊÒÎÈ
Artinya:
“Dengan
bahasa arab yang jelas.”
Dari
2 ayat di atas jelaslah bahwa bahasa yang digunakan dalam Al Qur’an adalah
bahasa arab asli. Akan tetapi, dalam perjalanan selanjutnya tentu akan timbul
permasalahan terkait dengan bahasa itu sendiri. Karena bangsa Arab terdiri dari
beberapa rumpun, tentunya spesifik dari tiap-tiap bahasa tersebut berbeda.
Muhammad Abd al “zim mengemukakan bahwa terdapat 10 hadist yang dipandang sahih
sebagai dalil tentang turunnya Al Qur’an dalam 7 huruf (ahruf sab’ah)[1].
Di antaranya:
a. Dari Ibn Abbas r.a
bahwa ia berkata: “Berkata Rasulullah SAW: “Jibril membacakan kepadaku atas
satu huruf, maka aku kemballi kepadanya, maka aku terus menerus meminta tambah
dan ia menambahi bagiku hingga berakhir sampai 7 huruf”. (Diriwayatkan oleh Al
Bukhari dan muslim)
b.
“
Kemudian, berkata Rasullullah SAW:” Sesungguhnya Al Qur’an ini di turunkan atas
tujuh Ahruf(huruf), maka bacalah olehmu mana yang mudah daripadanya”.(diriwayatkan
oleh Al Bukhari dan muslim).
1. Pengertian Ahruf
Sab’ah (sab’ah ahruf)
Kata
“ahruf” merupakan bentuk jamak dari “ Harf” yang dalam bahasa
Indonesia selalu di terjemahkan dengan huruf. Dalam Bahasa Arab kata “harf”
adalah lafal musytarak (mempunyai banyak arti). Sesuai dengan penggunaan “harf”,
bisa berarti: ‘tepi sesuatu’, ’puncak’, ’satu huruf ejaan’, ’unta yang kurus’,
’aliran air’, ’bahasa’, ’wajh (bentuk)’, ’dan sebagainya. Karena itu sab’ah
ahruf bisa diartikan dengan:tujuh bahasa, tujuh ilmu, tujuh makna, tujuh
bacaan, dan tujuh bentuk (awjuh). Meskipun para ulama berbeda pendapat
dalam menafsirkannya[2].
Imam
Abu Fadhilal Razi dalam kitabnya Al Lawaih mengungkapkan bahwa yang dimaksudkan
dengan Sab’ah ahrif adalah tujuh
perbedaan bacaan Al Qur’an. Perbedaan bentuk-bentuk tersebut adalah:
1.
Perbedaan
Asma’(kata benda), Berupa bentuk tunggal, dua, jamak, pria dan wanita.
2.
Perbedaan
Tasrif(kongjungsi) af’al (kata Kerja), berupa madhi, mudhari’, dan amar.
3.
Perbedaan
bentuk I’rab.
4.
Perbedaan
sebab pengurangan dan penambahan kata.
5.
Perbedaan
sebab mendahulukan dan mengakhiri.
6.
Perbedaan
sebab Penggantian huruf.
7.
Perbedaan
lahjah.[3]
2.
Pengertian Qira’at
sab’ah
Berdasarkan
etimologi (bahasa), qiraah merupakan kata jadian (mashdar)
dari kata kerja qiraah (membaca), jamaknya yaitu qiraat. Bila
dirujuk berdasarkan pengertian terminology (istilah), ada beberapa
definisi yang diintrodusirkan ulama :
a. Menurut az-Zarqani.
Az-Zarqani
mendefinsikan qiraah dalam terjemahan bukunya yaitu : mazhab yang dianut
oleh seorang imam qiraat yang berbeda dengan lainnya dalam pengucapan Al-Qur’an
serta kesepakatan riwayat-riwayat dan jalur-jalurnya, baik perbedaan itu dalam
pengucapan huruf-huruf ataupun bentuk-bentuk lainnya[4].
b. Menurut Ibn al
Jazari :
Ilmu yang menyangkut
cara-cara mengucapkan kata-kata Al-Qur’an dan perbedaan-perbedaannya dengan
cara menisbatkan kepada penukilnya[5].
c. Menurut
al-Qasthalani :
Suatu ilmu yang
mempelajari hal-hal yang disepakati atau diperselisihkan ulama yang menyangkut
persoalan lughat, hadzaf, I’rab, itsbat, fashl, dan washl yang
kesemuanya diperoleh secara periwayatan[6].
d. Menurut az-Zarkasyi
:
Qiraat adalah perbedaan
cara mengucapkan lafaz-lafaz Al-Qur’an, baik menyangkut huruf-hurufnya atau
cara pengucapan huruf-huruf tersebut, seperti takhfif (meringankan), tatsqil
(memberatkan), dan atau yang lainnya[7].
e. Menurut Ibnu
al-Jazari
Qira’at adalah pengetahuan
tentang cara-cara melafalkan kalimat-kalimat Al-Qur’an dan perbedaannya dengan
membangsakaanya kepada penukilnya[8].
Perbedaan
cara pendefinisian di atas sebenarnya berada pada satu kerangka yang sama,
yaitu bahwa ada beberapa cara melafalkan Al-Qur’an walaupun sama-sama berasal
dari satu sumber, yaitu Muhammad. Dengan demikian, dari penjelasan-penjelasan
di atas, maka ada tiga qira’at yang dapat ditangkap dari definisi diatas yaitu
:
1) Qira’at berkaitan dengan
car penafalan ayat-ayat Al-Qur’an yang dilakukan salah seorang iman dan berbeda
cara yang dilakukan imam-imam lainnya.
2) Cara penafalan ayat-ayat Al-Qur’an itu
berdasarkan atas riwayat yang bersambung kepada Nabi. Jadi, bersifat tauqifi,
bukan ijtihadi.
3) Ruang lingkup
perbedaan qira’at itu menyangkut persolan lughat, hadzaf, I’rab, itsbat,
fashl, dan washil[9].
Hikmah diturunkan Al
qur’an dalam 7 huruf:
- Mempermudah umat islam khususnya bangsa Arab yang diturunkan Al Qur’an, sedangkan mereka memiliki beberapa dialek (lahjah) walaupun dapat di satukan dengan ke arabannya.
- Menyatukan umat Islam dalam satu bahasa yang disatukan dengan bahasa Quraisy yang tersusun dari berbagai bahsa pilihan di kalangan suku-suku bangsa Arab[10].
Hikmah perbedaan
Qiraat dalam Al Qur’an:
1. Untuk memberikan
kemudahan bagi umat Islam, khususnya bangsa Arab dalam membaca Al Qur’an
2. Mempersatukan umat
Islam dikalangan Bangsa Arab, yang relatif baru, dalam satu bahasa yang dapat
mengikat persatuan di antara mereka, yaitu bahsa Quraisy yang dengannya Al Qur’an
di turunkan, dan dapat mengakomo atau menampung unsur-unsur bahasa Arab dari
kabilah-kabilah lain.
3. Menunjukan kelebihan
(keutamaan) umat Nabi Muhammad SAW dari umat nabi-nabi sebelumnya, karena kitab
suci yang diturunkan kepada umat sebelum Nabi Muhammad SAW hanya terdiri atas
satu versi qiraat.
4. Menunjukan atau
membuktikan terjaga serta terpeliharanya Al Qur’an dari adanya tabdil
(penggantian) dan tahrif (pengubahan), termasuk berbagai versi qiraatnya[11].
B. Landasan dan latar belakang Abruf sab’ah dan
Qira’at sab’ah.
Sejarah Qira’ah
Pada
masa Rasulullah sudah sebenarnya sudah terdapat Qori-qori yang mengajarkan cara
membaca Al Qur’an kepada orang-orang menurut standar bacaan para sahabat. Di
antara paa sahabat yang populer bacaannya adalah Ubay, Aly, Zaid ibnu Tsabit,
ibnu mas’ud, Abu Musa Al Asy’ary dan lainnya. Dari mereka itulah kebanyakan
para sahabat dan tabi’in di seluruh daerah belajar. Mereka semua berpedoman
kepada Rasulluah saw sampai dengan datangnya masa tabi’in pada awal abad ke II
H. Selanjutnya timbullah golongan yang begitu memperhatikan tanda baca secara
sempurna manakala di perlukan. Mereka menjadikannya sebagai salah satu cabang
ilmu sebagaimana halnya ilmu-ilmu syaria’at yang lain[12].
Kalangan
sahabat sendiri dalam mengambil bacaan dari Rasullah saw berbeda-beda. Ada yang
mengambil dengan satu huruf/bacaan sedangkan yang lain mengambil dengan bacaan
yang lain pula, dan bahkan ada yang lain lagi. Kemudian mereka bertebaran
keseluruh penjuru daerah dengan keadaan yang seperti itu.
Ustman
r.a ketika mengirim mushaf ke seluruh penjuru, ia mengirim pula orang yang
sesuai bacaannya dengan mushaf yang diturnkan. Setelah para sahabat berpencar
ke seluruh daerah dengan bacaan yang berbeda-beda itu, para tabi’in
mengikutinya dengan mengambil baacan dari sahabat tersebut. Dengan demikian
beraneragamlah pengambilan para tabi’in, sehingga masala ini menimbulkan
imam-imam atau tokoh-tokoh qori yang masyur yang berkecimpung di dalamnya. Dan
mencurahkan segalanya untuk Qari’at dengan memberi tanda-tanda serta
menyebarluaskannya.[13]
Setelah
adanya tokoh-tokoh tersebut, banyaklah berkembang qori-qorinya yang terkenal ke
seluruh penjuru serta di kembangkan dari generasi ke generasi yang berlainan
tingkatnya dan berbeda sifatnya. Di antara mereka ada yang sangat baik dalam
membaca, masyur dari segi riwayat dan dirayahnya, dan sebagian lain hanya
mempunyai satu segi bacaan dan yang lainnya ada yang lebih dari itu. Oleh
karena itu timbullah banyak perbedaan dan kurang adanya keseragaman antara
sesamanya.( mohamaad aly: 319)[14]
Pada
masa inilah timbul tokoh-tokoh dan pemimpin umat yang bekerja keras sesuai
dengan kemampuan yang dimilikinya, sehingga bisa membedakan antara bacaanyang
benar dan yang salah, serta yang berkembang dan yang dipunahkan dengan
pedoman-pedoman yang mereka kembangkan dan segi-segi yang mereka utamakan
(manahilu’irfan, juz I, hal 407).[15]
C. Klarifikasi masalah Abruf sab’ah dan Qira’at
sab’ah.
Pengarang
kitab Al itqon menyebutkan macam-macam Qira’at itu ada yang mutawattir, masyur,
syadz, ahad, maudhu’, dan mudarraj.[16]
Al suyuthi mengutip
ibn al-jazari yang mengelompok Qira’at berdasarkan sanad kepada 6 macam, yaitu:
- Mutawatir, yaitu qiraat yang diriwayatkan oleh sejumlah periwayat yang banyak dari sejumlah periwayat yang banyak pula sehingga tidak mungkin mereka bersepakat untuk berdusta dalam tiap angkatan sampai pada Rasulullah saw. Menurut jumhur ulama Qiraat yang tujuh adalah mutawattir(zarkasi,ramli). Menurut H. ahmad Fatahoni, para ulama Al Qur’an dan ahli hukum Islam telah sepakat bahwa Qiraat yang berstarus mutawattir ini adalah Qiraat yang sah dan resmi sebagai Al Qur’an. Qira’at ini sah dibaca didalam dan diluar sahlat. Qiraat ini di sejadikan sebagai sumber atau hujjah dalam menetapkan hukum.
- Masyur, yaitu qiraat yang sanadnya sahih. Akan tetapi jumlah periwayatnya tidak sampai sebanyak mutawattir. Qiraat ini sesuai dengan kaidah bahasa arab dan tulisan mushaf usmani. Qiraat ini populer dikalangan ahli qiraat dan mereka tidak memandangnya sebagai qiraat yang salah atau aneh. Misalnya qiraat yang berbeda-beda jalur periwayatanya dari imam qiraat yang tujuh. Sebagian periwayat meriwayatkannya dari mereka dan sebagian yang lain tidak demikian. Di antara kiab yang paling masyur menyangkut kedua macam qiraat ini adalah kitab al taisir karangan al Dani, al-Syathibiah karangan al Syathibiah (w. 590 H) dan Thibah al-Nasyr fi al-Qiraat al Asyr karangan ibnu al Jazari. Menurut al Zarkani dan Shubhi al Shalih, kedua macam tingkatan mutawattir dan masyur sah bacaannya dan wajib meyakininya dan tidak boleh mengingkari sedikit pun daripadanya.
- Ahad yaitu qiraat yang sanadnya shahih. Akan tetapi qiraat ini menyalahi tulisan mashaf usmani atau kaidah bahasa arab atau tidak masyur seperti kemasyuran tersebut diatas. Qiraat ini tidak sah dibaca sebagai Al Qur’an dan tidak wajib meyakininya.
- Syaz yaitu Qiraat yang sanadnya tidak sahih, seperti qiraat Ibn al Sumaifi.
- Maudhu’, yaitu qiraat yang dibangsakan kepada seseorang tanpa dasar.
- Mudraj, yaitu qiraat yang didalamnya terdapat kata atau kalimat tambahan yang biasanya di jadikan penafsiran bagi ayat Al Qur’an[17].
Terdapat
sedikit perbedaan pendapat dikalangan para ahli qiraat dalam menetapkan
persyaratan bagi qiraat yang tergolong shahihat, namun pada prinsipnya sama.
Adapun persyaratan tersebut adalah sebagai berikut.(hasanuddin: 138).
Ibn khalawayh (w.370
H), menetapkan persyaratan sebagai berikut:
- Qiraat tersebut harus sesuai dengan rasm al mushhaf
- Qiraat tersebut harus sesuai dengan kaidah bahasa arab.
- Qiraat tersebut bersambng periwayatannya.
Makki abn Abi Thalib
(w.437 H), penetapkan persyaratannya sebagai berikut:
- Qiraat tersebut sesuai dengan kaidah bahasa arab yang berlaku
- Qiraat tersebut harus sesuai dengan rasm al mushhaf
- Qiraat tersebut disepakati oleh ahli qiraat pada umumnya
Sementara itu al
kawasyi (w.680H), menetapkan persyaratan sebagai berikut:
- Qiraat tersebut memiliki sanad yang shahih.
- Qiraat tersebut harus sesuai dengan kaidah bahasa arab.
- Qiraat tersebut harus sesuai dengan rasm al mushhaf.
Sedangkan Ibn al
Jaziri (w.833H) menetapakan persyaratan sebagai berikut:
- Qiraat tersebut memiliki sanad yang shahih.
- Qiraat tersebut harus sesuai dengan kaidah bahasa arab secara mutlak.
- Qiraat tersebut harus sesuai dengan rasm al mushhaf meskipun tidak persis betul.
Jadi,
secara garis besar qiraat Al Qur’aitu
teerbagi kepada 2 tingkatan saja, yaitu:
- Qiraat yang dapat diterima sebagai Qiraat Al Qur’an, yaitu:
a. Qiraat yang di akui
qur’aniyahnya(ke Qur’anannya), yaitu yang sanadnya shahih, sesuai dengan kaidah
bahasa arab dan rasm al mushhaf, serta diriwayatkan secara mutawatir.
b. Qiraat yang tidak di
akui qur’aniyahnya(ke Qur’anannya), yaitu mencakup 2 macam qiraat,yaitu:
-
Qiraat
ahad, yaitu qiraat yang sanadnya sahih, sesuai dengan kaidah bahasa arab dan
rasm al mushhaf, tetapi tidak diriwayatkan secara mutawatir.
-
Qiraat
syazzat, yaitu qiraat yang sanadnya sahih, sesuai dengan kaidah bahasa arab,
teapi tidak sesuai dengan rasm al mushhaf.
- Qiraat yang tidak dapat diterima sebagai Qiraat Al qur’an.
a. Qiraat yang tidak
ada dasarnya atau tidak bersumber dari Nabi SAW.
b. Qiraat yang sanadnya
tidak sahih
c. Qiraat yang tidak
sesuai dengan kaidah bahasa arab.
Macam-macam
qiraat, yaitu:
- Ibn Amir,
Nama lengkapnya
abdullah Ibn ‘Amir al Yasshabi (8-118H). ia membaca Al Qur’an dari al mughirah
ibn abi shihab al makhzumi dan abu darda’,
al mughirah membaca dari Usman bin Affan, sementara Usman bin Affan dan
abu darda’ membaca dari nabi SAW. Dua rawi dari Qiraat ib ‘Amir:
a. Hisyam(245 H)
b. Ibn Zakwan(242 H).
- Ibn Kasir
Nama lengkapnya
adalah Abu Muhammad Abdullah ibn Kasir al Makki(45-120H). Ia membaca Al Qur’an
dari Abdullah Ibn al Sa’ib, Mujahid Ibn Jabr, dan Dirbas. Abdullah ibn Al Sa’ib
membaca dari Ubay ibn Ka’ab dan Umar ibn Al Khaththab. Mujahid ibn Jabr dan Dirbas
membaca dari ubn Abbas. Ibnu abbas membaca dari ubay ibn Ka’ab dan Zayd ibn
Sabit. Sementara Ubay ibn Ka’ab, Umar Ibn Khaththab dan Zayd. Dua orang rawi
qiraat ibn Kasir:
a. Al Bazzi
b. Qunbul
- Ashim
Nama lengkapnya
Ashim Ibn Al Najud Al Asadi (129H). ia membaca Al Qur’an dari Abu Abd Al Rahman
Al Simi. Abu Abd Al Rahman Al Simi membaca dari Ibn Mas’ud, Usman Bin Affan,
Ali bin abi Thalib, Ubay Ibn Ka’ab dan Zayd Ibn Sabit. Para sahabat tersebut
menerima bacaan Al Qur’an dari Nabi SAW. Dua orang Rawi Qiraat Ashim:
a. Hafsh
b. Syu’bah
- Abu ‘Amr
Nama lengkapnya Abu
Amr Zabban Ib Al Ala Ibn ‘Ammar(68-154 H). ia membaca Al Qur’an dari abu Ja’far
Yazid ibn Qa’qa’ dan Hasan al Bashri. Hasan al Bashri membaca dari al Haththan
dan Abu al Aliyah. Abu Al aliyah membaca dari umar Ibnu Al Khaththab dan ubay
ibn Ka’ab. Kedua sahabat yang tersebut terakhir ini membaca Al Qur’an dari Nabi
SAW. Dua orang Rawi dari Qiraat Abu Amr:
a. Al Duri
b. Al Susi
- Hamzah
Nama lengkapnya
adalah Hamzah Ibn Hubayb Abn al Ziyyat al Kufi(80-156 H). Ia membaca al Qur’an
dari Ali Sulayman al A’masy, Ja’far Al Shadiq, Hamran Ibn A’yan, Manhal ibn
‘Amr, dan lain-lain. Mereka semua bersambung sanadnyakepada Nabi SAW. Dua orang
rawi Qiraat Hamzah:
a. Khallad
b. Khalaf
- Nafi’
Nama lengkapnya
Nafi’ibn Abd al Rahman Ibn Abi Nu’aym al Laysi(169H). ia membaca Al Qur’an dari
Ali Ibn Ja’far, Abd Al rahman ibn Hurmuz Muhammad Ibn Luslim Ibn Muslim al
Zuhri, dan lain-lain. Mereka semua bersambung sanadnya secara Shahih kepada
Nabi SAW. Dua orang rawi Qiraat Nafi’:
a. Warasy
b. Qalum
- Al kasa’i
Nama lengkapnya
adalah abu Hasan Ali Ibn Hamzah Al Kisa’I (187H). Ia membaca Al Qur’an dari
Hamzah, Syu’bah, Ismail ibn Ja’far, dan lain-lain. Mereka semua bersambung
sanadnya kepada Nabi SAW. Dua orang rawi Qiraat Al Kasa’i:
a. Al Duri
b. Abu Al Haris.[18]
c.
Di kalangan sahabat
yang masyur mengjarkan Al Qur’an adalaj:
- Utsman
- Ali bin abi thalib
- Ubay bin ka’ab
- Zaid bin Tsabit
- Ibnu Mas’ud
- Abu Ad Darda
- Abu Musa Al Asy’ari.[19]
Dalam
membaca Al Qur’an ara ulama tajwid dan adab tilawahnya, dan iramanya pun harus
sesuai dengan kaidahyang benar. As-sayuti dalam al Itqan, dan di ungkapkan
kembali oleh ar Rafi’I dalam I’jazul Qur’an dengan mengatakan:” Di antara
perbuatan Bid’ah dalam qiraat dan ada’ adalah talhin. Atau melagukan bacaan
yang hingga sekarang ini masih ada dan disebarluaskan oleh orang yang hatinya
telah terpikat dan terlanjur mengagumi[20].
Mereka membaca Al Qur’an sedemikian rupa layaknya sebuah irama atau nyayian.
Dan di antara macam-macam talhin yang mereka kemukakan sesuai dengan pembagian
irama lagu adalah:
- Tar’id, yaitu bila qori’ menggelegarkan suaranya, laksana suara yang menggelegar karena kedinginan atau kesakitan.
- Tarkis, yaitu sengaja berhenti pada huruf mati namun kemudian dihentakkannya secaratiba-tiba disertai dengan gerakan tubuh, seakan-akan sedang melompat atau berjalan cepat.
- Tatrib, yaitu mendendangkan atau melagukan Al Qur’an sehingga membaca panjang(mad) bukan pada tempatnya.
- Tahzin, yaitu membaca Al Qur’an dengan nada memelas seperti orang yang lagi bersedih sampai hamper menangis disertai kekusyukan dan suara lembut.
- Tardid, yaitu bila sekelompok orang menirukan seorang qori pada akhir bacaannya dengan suatu gaya atau cara-cara di atas[21].
Qiraat itu
sebenarnya ada yangbersifat tahqiq, yaitu dengan cara memberikan kepada setiap
huruf akan haknya sesuai dengan ketentuan yang telah di tetapkan para ulama.
Dan di sertai tartil yaitu dengan bacaan yang pelan-pelan dan tenang serta
dengan suara yang lembut, bersifat hadar, yaitu membaca cepat dengan tetap
memperhatikan sarat-sarat pengucapan yang benar , dan ada pula yang bersifat
tadwir yaitupertengan antara kedua sifat tadi[22].
D. Peranan Qira’at sab’ah dalam penafsiran
Kata
Istinbath adalah bahasa arab yang berasal dari kata al nabth yang berarti “air
yang keluar pertama kali atau tampak pada saat menggali sumur. Karena itu makna
istinbath yang biasa dipakai adalah “mengeluarkan”[23].
Secara
terminologi istinbath berarti: mengeluarkan kandungan hukum dari nash-nash yang
ada( Al Qur’an dan Sunnah) dengan ketajaman nalar serta kemampuan yang optimal.
Dari
definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa substansi dari istinbath adalah upaya
melahirkan ketentuan-ketentuan hukum dari apa yang terdapat dalam Al Qur’an
maupun Sunnah[24].
Perbedaan
Qiraat Al Qur’an yang berkaitan dengan substansi lafal atau kalimat, adakalanya
mempengaruhi makna dari lafal atau kalimat adakalanya tidak. Dengan demikian,
perbedaan Qiraat Al Qur’an dalam hal ini adakalanya berpengaruh dalam istinbath
hukum dan adakalanya tidak.[25]
(hasanuddin:
201)
- Perbedaan qiraat yang berpengaruh terhadap istibath hokum
Adapun perbedaan
qiraat Al qur’an yang khusus menyangkut ayat-ayat hukum, dan berpengaruh
terhadap istinbath hukum, dapat di lihat dengan contoh:
QS: Al Baqarah, ayat
222:
tRqè=t«ó¡our Ç`tã ÇÙÅsyJø9$# ( ö@è% uqèd ]r& (#qä9ÍtIôã$$sù uä!$|¡ÏiY9$# Îû ÇÙÅsyJø9$# ( wur £`èdqç/tø)s? 4Ó®Lym tbößgôÜt ( #sÎ*sù tbö£gsÜs? Æèdqè?ù'sù ô`ÏB ß]øym ãNä.ttBr& ª!$# 4 ¨bÎ) ©!$# =Ïtä tûüÎ/º§qG9$# =Ïtäur úïÌÎdgsÜtFßJø9$# ÇËËËÈ
Artinya:
“Mereka bertanya
padamu tentang haid. Katakanlah: “Haid itu adalah suatu kotoran. Oleh sebab itu
hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haid, dan janganlah kamu
mendekati mereka sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka
campurilah mereka ditempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya
Allah menyukai orang-orang yang taubat dan menyukai orang-orang yang menyucikan
diri.”
Sehubungan
dengan qiraat ( laa mastumunnisa’), ada 3 versi pendapat ulama mengenai laa
mastum, yaitu: bersetubuh(jaa ma’tum), bersentuh ( baa syartum), dan bersentuh
serta bersetubuh. Dalam kaitan dengan hal ini , al Razi berkomentar bahwa suatu
lafaz harus di artikan dengan pengertian hakiki. Makna hakiki dari (au laaa
mastumunnisa’) adalah menyentuh tangan. Jadi wanita sedang haid tidak boleh di
sentuh. Sedangkan ada pendapat lain yang mengatakan yang dimaksud dalam hal ini
adalah bersetubuh.
- Qiraat yang tidak berpengaruh terhadap istimabat hukum
QS: al maidah,
ayat:95
$pkr'¯»t tûïÏ%©!$# (#qãYtB#uä w (#qè=çGø)s? yø¢Á9$# öNçFRr&ur ×Pããm 4 `tBur ¼ã&s#tFs% Nä3ZÏB #YÏdJyètGB Öä!#tyfsù ã@÷WÏiB $tB @tFs% z`ÏB ÉOyè¨Z9$# ãNä3øts ¾ÏmÎ/ #urs 5Aôtã öNä3YÏiB $Nôyd x÷Î=»t/ Ïpt7÷ès3ø9$# ÷rr& ×ot»¤ÿx. ßQ$yèsÛ tûüÅ3»|¡tB ÷rr& ãAôtã y7Ï9ºs $YB$uϹ s-räuÏj9 tA$t/ur ¾ÍnÍöDr& 3 $xÿtã ª!$# $£Jtã y#n=y 4 ô`tBur y$tã ãNÉ)tFZusù ª!$# çm÷ZÏB 3 ª!$#ur ÖÍtã rè BQ$s)ÏGR$# ÇÒÎÈ
Artinya:
”Hai orang-orang
yang beriman, janganlah kamu membunuh binatang buruan, ketika kamu sedang
ihram. Barang siapa diantara kamu yang membunuhnya dengan sengaja, maka
dendanya ialah mengganti dengan binatang ternak seimbang dengan buruan yang
dibunuhnya, menurut putusan 2 orang yang adil diantara kamusebagai hadnya, yang
di bawa sampai ke ka’bah, atau dengan membayar kifarat dengan member makan
orang-orang miskin, atau berpuasa seimbang dengan makanan yang dikeluarkan itu,
supaya ia merasakan akibat yang buruk dari perbuatannya.”
Sehubungan
dengan ayat di atas, ibn kasir,ashim, abu ‘amr, hamzah dan al kisa’I, membaca(
aukaffaaratu tha’aa mu masyaa kiin). Sementara Nafi dan ibn amir membaca
(aukaffaa hutha’aa mi masyaa). Tanpa terjadi perbedaan maksud dan hukum yang
terdapat di dalamnya
C. Penutup
Dari
penjelasan yang telah diuraikan di atas, dapat disimpulkan bahwa Al Qur’an
ternyata diturunkan dalam 7 huruf. Sehingga kita dapat memilih mana diantaranya
yang lebih memudahkan kita untuk membacanya. Karena masing-masing dari huruf Al
Qur’an tersebut akan lebih cenderung pada tata bahasa kabilah-kabilah di bangsa
Arab pada waktu Al Qur’an di turunkan.
Selain
itu untuk membaca Al Qur’an juga terdapat qira’at-qira’at yang diriwayatkan
sampai ke Rasulullah, sebagai cara membaca Al Qur’an yang baik dan benar. Di
antara qira’at-qira’at tersebut yang mutawattir adalah:qira’at ibnu Amir,
qira’at ibnu kashir, qira’at Ashim, qira’at Hamzah, qira’at Nafi’, Qira’at al
Kisa’i. Sebagai seorang mukmin sebaiknya kita menguasai minimal satu qira’at,
sehingga kita tidak terjerumus pada cara pembacaan Al Qur’an yang salah.
Selain
merupakan cara membaca Al Qur’an yang benar, qira’at juga mempunyai fungsi
dalam menentukan istinbath hukum dalam islam. Dengan adanya pembacaan Al Qur’an
dalam beberapa versi ini, membantu ulama-ulama sesusudahnya untuk memahami arti
yang lebih hakiki dari Al Qur’an tersebut.
[1] Ramli, Abdul, Ulumul Qu’an, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2002),h.150
[2] Hasan, Zaini, ‘Ulum Am Qur’an, (Batusangkar: STAIN
Batusangkar, 2011).h.148
[3] Ibid
[4] Ibid,h.149
[5] Dikutip dari situs
http://pintania.wordpress.com/qiraatul-quran/.
Rabu 2 November 2011
[6] Ibid
[7] Ibid
[8] Ibid
[9] Ibid
[10] Mohammad,aly, Pengantar tudi Al Qur’an, Judul asli At Tibyan, Terj. Moch Chuslori Umar,
(Bandung: al ma’arif, 1996).h.303-304
[11] Hasanuddin, Perbedaan Qira’at dan Pengaruhnya Terhadap
Istinbath Hukum dalam Al Qur’an, (Jakarta: RajaGrafindo Persada,
1995).h.241-247
[12] Ibid.h.317
[13] Ibid,h.318
[14] Ibid,h.319
[15] Ibid
[17] Ibid,h.141-143
[18] Ibid,h.147-149
[19] Muhamaad Bin Alawi
al Maliki Al Hasni, Mutiara Ilmu-ilmu Al
Qur’an, Judul Asli Zubdah Al Itqan Fi
Ulum Al Qur’an, Terj. Rosihon Anwar, (Bandung: Pusataka Setia, 1999), h.40
[20] Mana Khalil al
Qatan, Studi Ilmu-ilmu Al Qur’an,
Judul Asli Mabahits fi ‘ulum Al Qur’an,
Terj.Mudzakir As(Bogor: Pustaka Litera AntarNusa, 1992),h.267
[22] Ibid
[23] Zulheldi, Ulumul Qur’an ,I(Jakarta: Quantum Press,
2003),h.164
[24] Ibid
[25] Ibid
Tidak ada komentar:
Posting Komentar