Mata Kuliah : Ulumul Qur'an
BAB I
PENDAHULUAN
Kita mengetahui bahwasanya Al-Qur’an di turunkan secara berangsur-angsur, hal ini
sesuai dengan peristiwa atau hal-hal yang diperlukan. Kita dapat mengetahui hal
itu melalui ilmu asbabun nuzul. Sehingga dengan mengetahui ilmu asbabun nuzul
bisa membantu kita didalam memahami atau menafsirkan Al-Qur’an.
Kemudian di dalam alqur’an kita juga
mengenal adanya ayat-ayat makkiyah dan madaniyah, ayat-ayat muhkamat dan
mutasyabihat. Hal ini juga dapat membantu kita didalam memahami dan menafsirkan
alqur’an. Sehingga sampailah kita kepada masalah nasikh dan mansukh, yang akan
penulis jelaskan didalam makalah ini, walaupun jauh dari kesempurnaan.
Sekarang kita ingin tahu dari alqur’an itu
sendiri tentang ilmu nasikh dan mansukh. Dengan pengetahuan yang benar mengenai
soal itu, kita mudah menetapkan yang mana yang turun lebih dahulu dan mana yang
turun berikutnya. Hal ini juga akan memperlihatkan segi hikmah ilahi dalam
memelihara keselamatan manusia serta memperkokoh keyakinan kita, bahwa
bersumber alqur’an yang hakiki adalah Allah Rabbul’alamin. karenaNya jualah
yang menghapus dan menetapkan sesuatu menurut kehendaknya.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Nasikh dan Mansukh
Nasakh berasal dari
bahasa arab, al-nasakh, yang terambil dari kata nasakha-yansakhu-naskhan).[1]
Menurut Al Hafidl Al-Suyuthi merumuskan pengertian nasakh dari segi bahasa
dalam empat pengertian :
1.
Al-Izalah yang artinya
“menghilangkan”. Dalam Al-Qur’an, kata al-nasakh yang mengandung pengertian
tersebut terdapat dalam surat (al-Haj : 52)
!$tBur $uZù=yör& `ÏB y7Î=ö6s% `ÏB 5Aqߧ wur @cÓÉ<tR HwÎ) #sÎ) #Ó©_yJs? s+ø9r& ß`»sÜø¤±9$# þÎû ¾ÏmÏG¨ÏZøBé& ã|¡Yusù ª!$# $tB Å+ù=ã ß`»sÜø¤±9$# ¢OèO ãNÅ6øtä ª!$# ¾ÏmÏG»t#uä 3 ª!$#ur íOÎ=tæ ÒOÅ3ym ÇÎËÈ
Dan Kami tidak mengutus
sebelum kamu seorang Rasulpun dan tidak (pula) seorang Nabi, melainkan apabila
ia mempunyai sesuatu keinginan, syaitanpun memasukkan godaan-godaan terhadap
keinginan itu, Allah menghilangkan apa yang dimasukkan oleh syaitan itu, dan
Allah menguatkan ayat-ayat- nya. dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.[2]
2.
Al-Naql yang berarti memindahkan.
Dalam Al-Qur’an, kata al-nasakh yang mengandung pengertian tersebut terdapat
dalam surat (al-Jatsiyah: 29)
#x»yd $oYç6»tFÏ. ß,ÏÜZt Nä3øn=tæ Èd,ysø9$$Î/ 4 $¯RÎ) $¨Zä. ãÅ¡YtGó¡nS $tB óOçFZä. tbqè=yJ÷ès? ÇËÒÈ
Artinya: (Allah berfirman): "Inilah kitab (catatan) Kami yang
menuturkan terhadapmu dengan benar. Sesungguhnya Kami telah menyuruh mencatat
apa yang telah kamu kerjakan".[3]
3.
Al-Tabdil yang berarti menggantikan.
Dalam Al-Qur’an, kata al-nasakh yang mengandung pengertian tersebut terdapat
dalam surat (Al-Nahl: 101)
#sÎ)ur !$oYø9£t/ Zpt#uä c%x6¨B 7pt#uä ª!$#ur ÞOn=ôãr& $yJÎ/ ãAÍit\ã (#þqä9$s% !$yJ¯RÎ) |MRr& ¤tIøÿãB 4 ö@t/ óOèdçsYø.r& w tbqßJn=ôèt ÇÊÉÊÈ
Dan apabila Kami
letakkan suatu ayat di tempat ayat yang lain sebagai penggantinya Padahal Allah
lebih mengetahui apa yang diturunkan-Nya, mereka berkata: "Sesungguhnya
kamu adalah orang yang mengada-adakan saja". bahkan kebanyakan mereka
tiada mengetahui.[4]
4.
Al-Tahwil yang berarti mengalihkan.[5]
Seperti pengalihan bagian harta warisan dalam ilmu faraid. Misalnya تنا سخ المؤ ارث maksudnya
perpindahan harta warisan dari seseorang kepada orang lain.[6]
Menurut
Muhammad bin ‘Abd Al-‘Azhim Al-Zarqani merumuskan pengertian nasakh dari segi
bahasa dalam dua pengertian :
a. Izalah Al-syae wa
i’damuh
artinya menghilangkan sesuatu dan membuangnya.
b. Naql Al-Syae wa
tahwiluh ma’a baqa’ih fi nafsih artinya memindahkan sesuatu dan mengalihkannya,
sementara subtansinya yang dipindahkannya tetap ada.[7]
Ada dua definisi nasakh yang dikemukakan ulama Ushul Fiqh,[8]
definisi yang pertama adalah
بيا
ن إنتهاء أ مد حكم شر عي بطريق شرعي متراخ عنه
Penjelasan berakhirnya
masa berlaku suatu hukum melalui dalil syar’i yang datang kemudian.
Artinya, bahwa hukum
yang dihapuskan itu atas kehendak Allah dan penghapusan ini sesuai dengan
habisnya masa berlakunya hukum itu.
definisi yang kedua
رفع
حكم شرعي عن المكلف بحكم شرعي مثله متأخر
Pembatalan hukum syara’
yang ditetapkan terdahulu dari orang mukallaf dengan hukum syara’ yang sama
yang datang kemudian.
Dari uraian diatas
dapat diartikan secara etimologi nasakh mempunyai beberapa pengertian yaitu
antara lain penghilangan (izalah), penggantian (Tabdil), pengubahan (tahwil),
dan pemindahan (naql). Sedangkan mansukh adalah sesuatu yang dihilangkan,
digantikan, diubah, dan dipindahkan.[9]
Ditinjau dari segi
terminologi para ulama mendefinisikan nasikh, kendatipun dengan dengan redaksi
yang sedikit berbeda, tetapi dalam pengertian sama dengan raf’u al hukm asy-sya’i bi al-khithab asy-syar’i (menghapuskan
hukum syara dengan khitab syara pula) raf’u
al hukm asy-sya’i bi al-dalil asy-syar’i (menghapuskan hukum syara dengan
dalil syara yang lain) terminologi “menghapuskan” dalam definisi di atas adalah
terputusnya hubungan hukum yang dihapus dari seorang mukallaf dan bukuan
terhapusnya subtansi hukum itu sendiri.[10]
Menurut Abdul wahab
Khalaf nasikh adalah membatalkan keputusan syara’ dengan dalil syara’ yang
lainnya. Pembatasan tersebut ada yang secara umum dan ada pula yang secara
sebagian. Dengan demikian yang datang kemudian membatalkan dalil yang telah
berlaku sebelumnya.[11]
Sementara itu Quraish
Shihab menyatakan bahwa ulama mutaqqaddimin dan muta’akhirin tidak sepakat
dalam memberikan pengertian nasikh secara terminologi. Hal ini terlihat dari
kontroversi yang muncul di antara mereka dalam menetapkan adanya nasikh dalam Al-Qur’an
. Ulama-ulama mutaqaddim bahkan memperluas arti nasikh hingga mencakup :
1) Pembatalan hukum yang
ditetapkan oleh hukum yang ditetapkan kemudian
2) Pengecualian hukum yang
bersifat umum oleh hukum yang spesifik yang datang kemudian
3) Penjelasan susulan
terhadap hukum yang bersifat ambigius
4) Penetapan syarat bagi
hukum yang datang kemudian guna membatalkan atau merebut atau menyatakan
berakhirnya masa berlakunya hukum terdahulu.[12]
Menurut ulama
mutaqaddim, naskh adalah mengangkat hukum syar’i dengan dalil hukum syara’ yang
lain. Misalnya, dikeluarkannya hukum syar’i dengan berdasarkan khitab syara’
dari seorang karena ia mati. Pengertian menurut ulama muta’akhirin diantaranya
adalah sebagaimana yang diungkapkan oleh quraish Shihab nasikh terbatas pada
ketentuan hukum yang datang kemudian, guna membatalkan, mencabut atau
menyatakan berakhirnya pemberlakuan hukum yang terdahulu, hingga ketentuan
hukum yang ada yang ditetapkan terakhir.[13]
Dari pengertian di atas
dapat di pahami bahwa nasikh dan mansukh menurut ulama mutaqaddimin memberikan
batasan pengertian bahwa nasikh adalah sebagai dalil syar’i yang ditetapkan
kemudian. Artinya ketentuan hukum yang telah berlaku sebelumnya dinyatakan
sudah berakhir masa berlakunya, dan diganti dengan ketentuan hukum yang lain. [14]
Dari beberapa definisi
yang telah disebutkan di atas dapat di pahami, bahwa nasakh adalah penghapusan
hukum yang terdahulu oleh hukum yang datang kemudian. Dengan kata lain hukum
yang datang belakangan telah menghapuskan hukum yang datang dahulu, sehingga
hukum yang datang kemudian diamalkan.
B.
Pro-kontra
nasikh-mansukh dalam Al-Qur’an beserta argumen
Munculnya perbedaan pendapat tentang nasikh
dan mansukh di kalangan ulama bersumber dari eksistensi nasakh dan mansukh itu
sendiri di dalam al qur’an. Mayoritas ulama mengakui keberadaan nasikh dalam Al-Qur’an.
Sementara ulama yang lain seperti Abu Muslim al-Ashafahani, Ar-Razi, Muhammad
Abduh, Rasyid Ridha, Taufiq Sidqy, dan al-Khudri menolak keberadaan tersebut.
Perbedaan pendapat tentang masalah nasikh dan dalil ketetapannya, dapat
dikelompokkan kepada empat golongan yaitu Orang Yahudi, Orang Syi’ah Ra’fidah,
Abu Muslim Asfahani dan Jumhur ulama. Secara umum tergambar dari argumentasi
golongan pro dan kontra tentang keberadaan nasikh. [15]
Jumhur ulama berpendapat bahwa nasikh
menurut logika boleh saja dan secara syara’ telah terjadi. Alasan mereka adalah
firman Allah dalam surat al-Baqoroh : 106
* $tB ô|¡YtR ô`ÏB >pt#uä ÷rr& $ygÅ¡YçR ÏNù'tR 9ös¿2 !$pk÷]ÏiB ÷rr& !$ygÎ=÷WÏB 3 öNs9r& öNn=÷ès? ¨br& ©!$# 4n?tã Èe@ä. &äóÓx« íÏs% ÇÊÉÏÈ
Artinya : Ayat mana saja yang Kami
nasakhkan, atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang
lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya. tidakkah kamu mengetahui
bahwa Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu?[16]
Kemudian jumhur ulama ushul fiqh menyatakan
bahwa seluruh umat Islam mengetahui dan menyakini bahwa Allah itu berbuat
sesuai dengan kehendakNYa tanpa harus melihat kepada sebab dan tujuan. Oleh
sebab itu, adalah wajar apabila Allah mengganti hukum yang telah ia tetapkan
dengan hukum lain, yang menurutNya lebih baik dan sesuai dengan kemaslahatan
umat. Jumhur ulama juga beralasan dengan kesepakatan para ulama menyatakan
bahwa syariat sebelum Islam telah di-nasakh-kan oleh syariat Islam,
sebagaimana juga nasakh itu sendiri telah terjadi dalam beberapa hukum Islam.
Misalnya, pembatalan wasiat bagi kedua ibu bapak serta kaum kerabat dengan
ayat-ayat yang berkaitan dengan warisan. [17]
Persoalan ada atau tidaknya nasikh dalam Al-Qur’an
disebabkan keberadaan pemahaman ulama tentang ayat Al-Qur’an yang terdapat pada
tiga tempat, seperti dalam surat al-Baqoroh ayat 106, surat ar-Ra’d
ayat 39 dan an-Nahl ayat 101. [18]
Dengan berpijak pada keseluruhan ayat di atas mayoritas ulama memandang bahwa
revisi Al-Qur’an telah terjadi, yaitu penerapan perintah-perintah tertentu
kepada umat Islam hanya bersifat sementara. Dan ketika keadaan telah berubah,
perintah tersebut diubah dan diganti dengan perintah baru lainnya.
C.
Peranan
nasikh mansukh dalam memahami/menafsirkan Al-Qur’an
Setelah kita mengetahui
pengertian dari nasikh mansukh, maka dapat kita ketahui bahwasanya nasikh hanya
terjadi pada perintah dan larangan, baik yang diungkapkan dengan tegas dan
jelas, maupun yang diungkapkan dengan kalimat berita (Khabar) yang bermakna amar
(perintah) atau nahy (larangan), jika hal tersebut tidak berhubungan
dengan persoalan aqidah, berfokus kepada zat Allah SWT, sifat-sifatNya,
rasulNya, kitab-kitabNya, dan hari kemudian. Hal ini karena semua syariat ilahi
tidak lepas dari pokok-pokok tersebut.
Kemudian, syarat-syarat
terjadinya nasakh adalah sebagai berikut :
- Yang dinasakh itu hukum syar’i
- Pembatalan itu datangnya dari khithab (tuntunan) syara’
- Pembatalan hukum itu tidak disebabkan berakhirnya waktu berlakunya hukum tersebut sebagaimana yang ditunjukkan khithab itu sendiri,[19] seperti firman Allah :
¢OèO (#qJÏ?r& tP$uÅ_Á9$# n<Î) È@ø©9$# 4
Artinya : kemudian
sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam…………… ( al Baqoroh : 187)
Berakhirnya puasa
dengan datangnya malam tidak dinamakan nasakh, karena ayat itu sendiri telah
menentukan bahwa puasa tersebut berakhir ketika malam tiba.
- Dalil antara keduanya bertentangan.[20] Sehingga tidak mungkin untuk di ambil upaya jama’ (kompromi). Kalau ternyata keduanya masih mungkin mengalami proses jama’, maka salah satu diantaranya tidak bisa menasakh yang lainnya. [21]
Dari penjelasan di atas
jelas sekali para ulama sangat hati-hati di dalam memberikan definisi,
syarat-syarat, dan ruang lingkup dari pada nasikh dan masukh itu sendiri.
Karena mereka khawatir akan terjadi banyaknya ayat-ayat yang akan kena masukh
nantinya. Sehingga mereka lebih memfokuskan kepada ayat yang bersifat hukum.
D.
Hikmah
nasikh masukh dalam kehidupan dan pergaulan
Memahami nasikh dan
masukh penting dalam upaya memahami hukum secara sempurna dan benar, sehingga
secara bijaksana dapat memutuskan hukum yang adil. Ada empat hikmahnya :
1. Menjaga kemaslahatan
hamba
2. Mengembangkan
pensyariatan hukum sampai pada tingkat kesempurnaan, seiring dengan
pengembangan dakwah kondisi manusia itu sendiri
3. Menguji kualitas
keimanan mukallaf dengan cara adanya suruhan yang kemudian dihapus
4. Merupakan kebaikan dan
kemudahan bagi umat. Apabila ketentuan nasikh lebih berat dari pada ketentuan
mansukh berarti mengandung konsekuensi pertambahan pahala. Sebaliknya, jika
ketentuan dalam nasikh lebih mudah dari pada ketentuan masukh, itu berarti
kemudahan bagi umat.[22]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Secara etimologi nasakh
mempunyai beberapa pengertian yaitu antara lain penghilangan (izalah),
penggantian (Tabdil), pengubahan (tahwil), dan pemindahan (naql). Sedangkan mansukh
adalah sesuatu yang dihilangkan, digantikan, diubah, dan dipindahkan.[23]
2. Perbedaan pendapat
tentang nasikh dan mansukh di kalangan ulama bersumber dari eksistensi nasakh
dan mansukh itu sendiri di dalam al qur’an. Mayoritas ulama mengakui keberadaan
nasikh dalam Al-Qur’an. Sementara ulama yang lain seperti Abu Muslim al-Ashafahani,
Ar-Razi, Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, Taufiq Sidqy, dan al-Khudri menolak
keberadaan tersebut.
3. Hikmah Nasikh Mansukh
dalam kehidupan: *Menjaga
kemaslahatan hamba. *Mengembangkan pensyariatan hukum sampai pada tingkat
kesempurnaan, seiring dengan pengembangan dakwah kondisi manusia itu sendiri.
*Menguji kualitas keimanan mukallaf dengan cara adanya suruhan yang kemudian
dihapus. *Merupakan kebaikan dan
kemudahan bagi umat. Apabila ketentuan nasikh lebih berat dari pada ketentuan
mansukh berarti mengandung konsekuensi pertambahan pahala. Sebaliknya, jika
ketentuan dalam nasikh lebih mudah dari pada ketentuan masukh, itu berarti
kemudahan bagi umat.[24]
B. Saran
Sebagai insan biasa penulis
tidak akan pernah sempurna dalam segala hal termasuk dalam makalah ini, untuk
itu semua kritikan dan saran yang membangun sangat penulis butuhkan, karena
penulis yakin makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Walaupun demikian
adanya mudah-mudahan makalah ini bermanfaat untuk menambah dan mampu membuka
cakrawala kita tentang Ulumul Quran.
DAFTAR PUSTAKA
Anwar, Rosihon. Ulumul Qur’an.
Bandung: CV. Pustaka Setia. 2004
Arsim, Ibnu Muhammad. Nasikh Mansukh
(ayat-ayat Al-Qur’an yang di hapus). Jakarta: Pustka Azzam. 2002
Departemen Agama RI. Al-Qur’an al-Karim
dan Terjemahnya. Semarang: PT. Karya Toha Putra Semarang. 1995
Haroen, Nasrun. Ushul Fiqh I.
Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu.
Mukhtar, Armen. Nasakh perkembangan ilmu
tafsir Al-Qur’an. Padang: IAIN IB Press. 1999
Zaini, Hasan. dkk. ‘Ulumul Al-Qur’an. Batusangkar:
STAIN Batusangkar Press. 2011
[2] Departemen Agama RI,
alQur’an alKarim dan Terjemahnya, (Semarang: PT. Karya Toha Putra Semarang,
1995), h. 519-520
[3] Departemen Agama RI, h.
819
[4] Departemen Agama RI, h.
417
[8] Nasrun Harun, Ushul Fiqh
I, Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu, h, 181-182
[9] Hasan Zaini, Op.Cit, h,
124
[15] Hasan Zaini, h, 130
[16] Departemen Agama RI,
Op.Cit, h. 29
[17] Nasrun Harun, Op.Cit,
h,186
[18] Hasan Zaini, Loc.Cit
[19] Nasrun Haroen, Op.Cit,
h. 188
[20] Hasan Zaini, Op.Cit, h,
142
[21] Ibnu Jauzi, Nasikh
Mansukh (ayat-ayat al-Qur’an yang dihapus), Jakarta: Pustaka Azzam, 2002, h, 27
[22] Rosihan Anwar, Op.Cit,
h, 187
Tidak ada komentar:
Posting Komentar